Rabu, 11 Desember 2019

Algoritma II

ALGORITMA II

Awal chat itu dimulai dan bermula di instagram. Dalam akunku dan akun milikmu kita bertegur sapa. Aku bukan orang yang suka main medsos karena aku orangnya introvert banget kali ya. Sampai aku mau nyari kamu yang notabene sebagai  temen lamaku, dan salah satunya menurutku melalui social media, ku daftarkan diriku disalah satu platform bernama instagram.  Tak terasa berawal dari ku follow akunmu, dan kau pun gercep menyapaku lewat DM. Tepat tanggal 01 Juni 2019, sambil menunggu waktu sahur itu terasa menjadi amat menyenangkan. Pria yang ingin ku ceritakan ini bernama Deri. Deri itu ketua kelasku dari kelas 4-6 SD. Pinter sih  ga juga, cuma dia punya jiwa kepemimpinan, ah Deri sedari kecil aja kamu sudah menakjubkan.

Dan aku Vina, gadis kecil yang biasa-biasa saja, aku senang belajar. Rasanya Ranking 1 itu wajib diisi namaku. Aku pernah mendapatkan ranking 1 waktu SMP, kalian tahu kalau semisal twitter udah ada di tahun itu mungkin berita inilah yang menjadi Trending Topic di posisi pertama. Yah kerabat, tetangga, hingga rekan kerja Papa sudah sering mendengarku rangking 1 bahkan di kelas 6 SD nilai UN ku masuk peringkat 5 besar nilai terbaik nasional. Papa dan Mama jelas bangga sekali, cita-citaku menjadi dokter hewan karena Mama selalu memberiku hadiah hewan peliharaan dari kaki 4 bahkan unggas setiap penerimaan rapot aku pun mulai menyukai mereka.

Oh iya kembali ke Deri yah hihi. Deri adalah orang yang sudah diceritakan di algoritma pertama. Ya Deri memang mempunyai pacar bernama Kia, sedikit banyak kalian sudah mengertikan posisi hubungan mereka saat ini. Tapi please itu bukan karena aku sebagai orang ketiganya hihi.

Aku yang memfollow Deri, dan hampir 14 tahun aku tak pernah mendengarkan kabarnya. Iya setelah lulus SD aku pindah ke Ibu Kota, di Jakarta. Karena aku menempati posisi 5 nilai terbaik seluruh Indonesia aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan SMP di Sekolah Unggulan, maklum di Kota ku Tarakan itu belum ada sekolah unggulan hihihi.

Aku pun bergegas menyapa Deri Nasution, ketua kelas 3 periode dan tak tergantikan pun di hatiku. Yah Deri seringkali mengajakku ke kantin. Sampai-sampai anak satu sekolah sering mengejekku kalau aku pacaran sama Deri, menyebalkan bukan??? Tapi ga tau setiap disorakin “Cieee Vina pacaran nih yeee sama Deri” pipi ku menjadi merah-merona, aku rindu sorakan itu.

Setelah lulus SD sorakan itu sudah tidak pernah terngiang lagi di telingaku, itu lebih menyebalkan. Setiap hari selama mulai melanjutkan di sekolah unggulan itu aku dan Deri tak lagi pernah bertegur-sapa. Di tambah lagi orang tua ku pun pindah tugas ke Palembang.  Itu yang menyebabkan nilaiku di kelas 1 SMP menjadi jeblok, jeblok itu bahasa Indonesianya menjadi turun. Moment Ramadhan yang harusnya aku mudik, aku malah mudik ke kampung yang aku tak pernah kenal sejarahnya. Berbeda dengan Tarakan bahkan aku sampai mengerti kenapa kota itu dinamakan Tarakan. Yah intinya kota itu terdiri dari dua kosa kata yang berasal dari bahasa suku Tidung yang berarti tempat singgah para raja untuk makan. Ah begitulah Deri pria yang mengajarkan aku arti kekaguman.


Setelah sekian lama tidak pernah lagi berkunjung ke Tarakan Papa dan Mama memutuskan tahun ini kami menghabiskan libur lebaran di kota kelahiran ku itu. Menyenangkan sekali,,, yeaah Tarakan tunggu aku.
Chat ku dengan Deri berlanjut hingga keeseokannya, kami sudah bertukaran kontak WA. 
Bahkan deri membangunkan dengan voice note, katanya begini. “Bagi yang merasa bernama Vina Ramadhani, anak Dari Pak Rahmad dan Bu Dani, silahkan bangun sebelum sahurnya di petuk ayam.” Duh Deri sama ayam aja kok pelit sih hihi. “ Ayo bangun.”

“Iya ini baru bangun, kamu sama ayam aja kok pelit sih. Huh.” Kesalku

Oh iya karena masih SD  kultur di Kota ku ini manggil nama pakai nama orang tua sebagai bahan ejekan, maka itu Deri tau banget nama ortuku, malah dia inget sampai sekarang. Dan lucu lagi, kenapa waktu itu aku harus marah misal orang lain menyapa ku dengan nama orang tua ku. Toh memang mereka yang melahirkan aku, justru misal aku di panggil dengan nama security komplek yah wajar dong aku marah. Kan memang aku anak Mama Papa ah kalau diingat-ingat masa-lalu itu emang banyak lucunya hihihi.

Dan aku pun bertemu dengan Deri mantan ketua kelasku saat SD. Aku sengaja selepas sahur dan setalah shalat shubuh langsung bergegas untuk menyiapkan diri dan dalam perjanjian di chat tadi sih aku minta jemput sama Deri di hotel tempat aku dan orang tuaku beristirahat.

Tapi aku ingin memberikan kejutan dengan aku yang menjemput Deri. Dari semalam setelah tiba di bandara aku memang sibuk mencari rental mobil untuk kendaraan selama di kota kelahiranku ini. Dan Alhamdulillah teknologi memudahkan untuk mendapatkan rental mobil yang diinginkan.

Aku sudah menuju daerah Sebengkok, Sebengkok itu nama daerah di Tarakan. Ingat Sebengkok, emang ada Selurusnya? Ga ada hihi. 
Aku tiba tepat di Rumah Deri, tidak banyak yang berubah dari rumah Deri sejak terakhir ku tinggalkan, hanya pemukiman semakin padat dan hanya warna cat rumah Deri yang berubah, dan semakin banyak bunga di pekarangan.
Aku langsung membuka pagar rumah dan mengetuk pintu, "tok tok tok,,,"

Ada sosok seorang Ibu-Ibu berumur 56 Tahun keluar dari bilik pintu.

“Cari siapa Mbak?” Kata Ibu itu…

“Ada Deri bu?”

“Nak Vina???”

Ibu Deri masih mengingatku ternyata, dia begitu peka dengan suaraku maklum aku cadel.

“Iya Bu ini Vina.”

Seketika itu Ibu Deri langsung memelukku dan mengacak-ngacak pundakku.

“Kamu makin dewasa makin cantik. Ntar yah Ibu panggilkan Deri. Ayo masuk,”

Sambil menuju ruang tengah dan mempersilahkan aku untuk menunggu, Ibu memerkan foto ku bersama Deri saat SD, ntah siapa yang sengaja meletakannya di almari ruang tengah.

Sambil menatap foto lama itu, dan mengusap-usap wajah kami berdua yang sangat ceria. 
Deri pun menyapaku.
“Ngapain kesini, perjanjiannya kan aku yang jemput ke hotel.”

“Deri…” Aku langsung memeluk Deri.

Yang ku rasakan  seketika semua menjadi lebih damai. Bak waktu seakan-akan terhenti,

“Nah akhirnya Ratu sama Raja ketemu lagi.” Suara Ibu yang menyadarkan aku.

Tanpa sengaja air mataku menetes, yah Deri teman lamaku. Sahabat karibku tempatku menyimpan semua cerita saat masih beranjak merasa dewasa. Aku terkesiap melepaskan pelukan paling damai yang meneduhkan.

“Kamu kok nangis ih...” Deri

“Hihi.” Aku hanya bisa tertawa kecil sambil menghapus air mataku.

Eh akukan puasa, mana meluk yang bukan muhrim lagi. Hehe
“Kamu mau aku anterin kemana? Sekolahan atau di siring Gunung Amal?”

Sekolahan dan siring Gunung Amal adalah tempat paling berkesan buat kami. Aku seneng kalau Deri ngajakin ke siring pas sore-sore. Dia selalu ngomentarin gaya-gaya orang yang lewat, kadang dia dubbing suara orang-orang yang sedang kami perhatikan.

“Terserah kamu Der bawa aku kemana pun.” Dengan senyum paling merekah ku jawab.

“Oke kita ke sekolah dulu yah.”

“Siap Pak Ketua Kelas.” Jawabku sambil memberi hormat.

Taman tempatku sering belajar dan bercerita dengan Deri pun kini sudah banyak yang dirubah, Mulai tata letak gajebo dan tanaman di sekeliling taman, semua nampak rimbun.
Namun itu tidak menghilangkan sedikitpun ingatanku dengan orang paling kharismatik yang aku kenal ini.

“Der,,, Kamu sekarang kerja dimana? Aku liat instagram kamu isinya foto pemandangan semua.”

“Hehehe aku kerja di kontruksi gitu ikut kontraktor.”

“Koas kamu gimana?”

“Yah gitu tinggal setengah tahun lagi Der?”

“Ayah Bunda apa kabar?”

“Nanti kita ketemu yah, Ayah udah 2 kali nanyain kabar kamu loh Der.”

“Mesti dia nanya soal bambu.”

“Hah, bambu?”

“Eh, ga ga pasti dia rindu obrolin soal kamu.” Pungkas Deri.

“Bambu terus aku? Ah dasar anak teknokrat membingungkan. Tapi kamu masih kuliahkan? Enak ya anak teknik belum lulus udah dapat kerja.” Sebenarnya sih aku pura-pura ga tau waktu SD Deri pernah ditantang Ayah buat nyari bambu dengan ruas yang saling bertemu.

“Haha ga juga, semua tergantung pribadi masing-masing lagi kali. Solidaritas anak teknik memang banyak membantu ketika ada kerjaan link lebih mudah didapat.”

Der inget ga dulu disini tempat kita ngobrol banyak hal termasuk mimpi kita. Kamu pernah mimpi buat gedung yang ga ngerusak alam. Agak aneh sih waktu itu aku dengernya. Tapi hari ini mimpi kamu pelan-pelan kamu raih. Kamu juga pernah ditanya Ibumu “Mas ga ngeles?” kamu jawab dengan nada datar “Ya Ibu ga percaya banget sih sama guru mas, tenang Bu les itu Cuma untuk orang-orang yang ga yakin sama pendidikan di negeri sendiri.” Ah Deri kamu itu emang pria cerdas. Sekalipun mimpi kamu sering aneh. Hihi.

“Kamu inget Vin, disini kita sering banget ngobrol banyak hal?”

Seketika Deri membuyarkan khayalanku “Oh iya yah Der jadi keinget juga hihi. Dulu orang-orang malah sering sorakin kita pacaran-pacaran.” Syukur waktu SMA aku ikut ekstrakulikuler Drama jadi bisa sedikit nyamarin ekspresi.

“Waktu disorakin kalau kita pacaran kamu seneng? Seinget ku sih kamu suka senyum-senyum malu tapi bahagia gitu.”

“Ih mana ada kamu itu suka nerka. Mana suka ngawur lagi.” Tukasku,

“Iya deh iya, tapi kok ngegas gitu. Berartikan bener?” Goda Deri.

“Ngeselinnya kok ga ilang-ilang. Terserah tafsir Tuan saja.”

“Oke deh aku nafsirkan kalau kamu ngefans.” Balas Deri

“Terserah Tuan.” Suaraku ku buat sesederhana mungkin biar dia percaya.

“Haha dasar.” Deri mengacak-acak rambutku. Sentuhan yang ga asing itu.

Emang agak sulit yah kalau udah dewasa antar dua manusia berteman. Terlalu banyak rasa yang berbeda. Sedikit perhatian jadi nyaman. Sedikit sentuhan jadi baper. Yah kek aku gini. Tapi kembali, aku lumayan terampil dalam ekstrakulikuler drama Der.

Lanjut, Deri mengajak aku ke sebuah lorong. Lorong yang ga mungkin aku lupain. Dulu ada sekelompok Kakak kelas yang sering gangguin aku. Waktu pulang sekolah mereka mengambil tasku dan melempar-lempar agar ku rebut. Karena badanku masih mini kala itu, aku Cuma bisa nangis. Terus si ketua kelas inilah yah menyelamatkan tasku  dan aku. Deri juga sempat dipukuli sama komplotan kakak kelas itu. Tapi kejadian itu yang membuat aku akrab sama Deri.

“Kamu ingat sama kejadian itu?” Deri tersenyum. Yah masih ada bekas luka dikening Deri. Deri sempat dilempar batu waktu melindungiku hingga mengenai bagian pelipis mata.

Aku tanpa sadar mengelus bekas luka itu dan berkata “Makasih yah Der udah jagain aku.”

“Apaan sih ini kok kamu jadi mellow.”

“Deriii….”Aku memukul bahunya.

“Kita ke satu tempat lagi.” Dia menggengam tanganku.

Yah dulu juga sering banget pegangan tangan kalau pulang sekolah. Namun kali ini kok nyaman banget yah…

“Kamu masih inget ga di pohon ini?”

“Ini pohon tempat kamu pernah jatuhkan terus tangan kamu patah!!! hihi” Ejekku

“Kamu lupa aku manjat buat apa?”

“Emang buat apa yak kamu iseng aja….” Suaraku terputus menyembunyikan sesuatu.

“Tunggu disini.” Deri memanjat.

Yah aku hanya diam. Mengingat semua kejadian.

Dulu kami sengaja menulis di sebuah botol yang diikatkan pada pohon  rindang. Dan kami akan membacakan pesan di botol itu bila dewasa nanti  bertemu lagi. Yah itu alasan kenapa Deri jatuh sampai tangannya mengalami cidera yang cukup serius.

Deri sudah turun membawa 2 botol yang berisikan pesan. Setiap botol sudah diberikan nama, pohon itu emang ga pernah di potong jadi botol kami aman.

Deri menyodorkan botol yang bertuliskan namanya dan Deri memegang botol bertuliskan namaku. Kami pun duduk bersandar di batang tubuh pohon.

Aku membaca surat yang tersimpan dalam botol “Vina Ramadhan, tulisan ini udah aku ubah. Sekarang aku kelas 3 SMA. Setiap tahun aku selalu ganti tulisan ini, dan mungkin ini yang terakhir kalinya. Kita akrab dari kelas 4 SD sampai kelas 6 SD. Dulu aku ngarepnya pas SMP, SMA sampai kuliah kita bisa sama-sama. Dulu aku kira aku Cuma suka sekedar suka. SMP aku masih sering kepikiran kamu, dan aku kira itu hanya cinta monyet kayak orang-orang bilang. Pas sudah SMA nama kamu semakin kuat diingatanku. 
Rasanya aku benar-benar jatuh hati ke kamu.” Begitu pesan yang tertulis di botol itu.

Sedang pesan yang ku tulis di botol itu. “Deri, aku bahagia punya temen kayak kamu. Kamu itu kayak kakak ku. Aku bahagia punya temen seperti kamu.”

“Vin…”

“Iya, Der…”

“Kamu udah selesai baca?” Deri.

Aku masih ingat sekali, dan aku masih sering memikirkan soal pesan yang kita gantung ini. Ini salah satu alasan kenapa aku ga mau pacaran. Sampai hari ini adalah Deri sebagai alasan terkuat. Yah perasaan ku sama persis dengan apa yang dia rasakan. Hanya saat SD aku ga mungkin bisa berbahasa seperti surat Deri.

“Iya, Der… kamu bener ngubah pesen ini?”

“Iya Vin.”

“Tapi kan kamu sekarang punya pacar?” tanyaku polos.

“Aku kira kamu ga bakal datang dan hadir lagi kesini.”

“Aku ga bakal nyakitin orang Der.” .

“Kamu mungkin ga akan nyakitin hati orang lain, tapi kamu bakal nyakitin aku. Aku yang udah pernah nungguin kamu.” Harap Deri.

“Namanya siapa Der?”

“Kia.” Jawab Deri ketus

“Terus kamu udah sampai mana hubungan sama dia?”

“Berapa kali dia ngajakin aku nikah, tapi aku masih berharap sama kamu Vin…” Jawabnya lirih

“Kalau kamu yakin aku akan datang, kenapa kamu tetap ngajakin Kia berhubungan?”

“Kadang yakin belum tentu terjadikan Vin… Yang pasti aku punya rasa yang besar ke kamu.”
Huh semua jadi serba kikuk saat ini.

“Aku ga mungkin nyakitin hati wanita itu Der?” Aku menyampaikan dengan nada penuh harap.

“Dan berarti kamu lebih milih nyakitin aku yang rasa cintanya ada di kamu?”

“Bukan gitu, bukan gitu.” Aku menggengam tangan Deri untuk memberikan dia pengertian. Aku melanjutkan “It’s oke Der. Pacaran itu sama sekali rulenya ga ada. Aku ga mau pacaran, kalau kamu emang yakin sama aku. Datangi Papa dan Mama, sampaikan niat kamu ini ke mereka. Kamu pahamkan maksudku?”

“Kamu mau dengan hubungan pernikahan?” Pertanyaan yang dilanjutkan dengan keterangan. “Malam ini aku Ibu dan Ayahku akan menemui Papa juga Mamamu.”

“Kamu seriuskan Der?”

“Kalau inginmu seperti itu aku serius dan insyaAllah aku siap.”

*****

Siang sudah terik aku dan Deri bergegas meninggalkan sekolah.
Kami pun sudah tiba di halaman rumah Deri.

“Vin, masuk dulu ya.” Ajak Deri.

“Boleh.”

Deri mempersilahkan aku duduk di sofa, dan Deri masuk ke ruang tengah. Ada pembicaraan bersama ayah, ibu, dan Deri terdengar samar-samar.

Ayah dan Ibu Deri keluar dari gorden yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah.

“Nak Vina yakin sama Deri?" Ibu duduk disebelahku.

Lagi-lagi aku terperangah oleh Deri, dia bulat menyatakan itu. Tapi aku masih ragu, bukan ragu atas perasaanku. Seketika wanita bernama Kia ada dipikiranku sekitar 80% mempengaruhiku saat ini.

“Vina mau bu, tapi biar Vina bicarakan ke Papa sama Mama dulu.” Ucapku mencoba menyakinkan Ibu dan menyakinkan diriku sendiri tentu.

Selanjutnya aku dan Deri menuju hotel.

“Hay Deri?!” Sapa Papa.

“Hallo om.” Deri sumringah dan berpelukan dengan Papa.

Kalian sendiri taukan, Deri sama Papa itu cocok banget. Mungkin karena aku anak tunggal kali yak hihi. Terus Papa ga punya tandem gitu.

Mereka ngobrol banyak di balkon, aku bersiap-siap mandi. Mama mana yah? Oh pasti Mama lagi berenang.
Setelah aku usai menyegarkan tubuh, Mama dan Papa sedang berdiskusi. Deri tidak tampak diantara mereka. “Kemana Deri?” kataku membatin.

Mama melihatku dan memintaku untuk bergabung bersama mereka.

“Deri sedang menjemput Bapak dan Ibunya. Kita berbuka bersama sekalian ngobrolin niat baik Deri ke kamu.” Kata Papa serius.

Secepat inikah??? Renungku di balkon kala itu.

*****

Aku sudah mengunakan gaun dengan warna putih, tepat sekitar 3 bulan yang lalu aku bertemu Deri. Ya semua persiapan pernikahanku dengan Deri menjadi mudah, karena aku menggunakan jasa wedding organizer bernama MA Wedding Planner and Organizer milik anak relasi papa dulu.

Kurang dari 15 menit yang lalu Deri mengucapkan Ijab Qabul dihadapan hadirin dan tamu undangan.

Sekarang Deri tepat di sampingku, kami sedang melakukan sesi foto dengan memamerkan kartu nikah.
Aku bahagia, bahagia yang tak terhingga. Tapi perasaan bersalah itu masih kerap mengangguku, bagaimana dengan Kia? Kia masih ada dipikiranku, namun aku enggan menanyakan wanita itu kepada suamiku Deri Nasution.

Dan saat resepsi, aku melihat ada seseorang yang menarik perhatianku, yah aku memang ga pernah nanya ke Deri soal Kia. Tapikan aku wanita, jiwa kepoku tingkat Detektif Conan pasti aktif dong. And than, ya itu Kia. Kia datang dengan menggunakan dress hitam dan semua serba hitam. Ya di tengah kebahagiaanku ada jiwa yang sedang berkabung dan itu Kia.

Kia menghampiri kami dan menyalami orang tuaku dengan baik dan sekarang dia sedang menyalami Deri. 
Ku lihat Kia mencoba mendekati wajah Deri sambil menjabat tangan suamiku. Aku mendengar samar-samar suara Kia.

Kia berbisik lirih “Kalau ga mau serius harusnya jangan pernah kasih harapan ke wanita Der.” Kia pun berlalu tanpa menyalamiku.

-To Be Continued-


Algoritma I


Algoritma I
Perkenalkan namaku Rendy, aku seorang vokalis metal yang mana basic suara ku memang parau tapi itulah karakter kuatku diatas panggung, aku juga tukang tatto dan hampir 30% tubuhku pun bertattoo, aku seorang baberman tapi rambutku sendiri paling langka di cukur, aku hanya mengikat rambutku, dan seorang pacar dari wanita bernama Sofie. Hubungan kami masih dalam persoalan yang klasik yaitu LDR. 

Sofie itu anaknya manis juga anggun tapi sekali marah dia lebih mirip Manny Pacquaiao kalau diatas ring. Aku dan Sofie sudah menjalin hubungan sekitar 2 tahun, yah hubungan yang tidak singkat dan tidak panjang. Dalam hubungan tentu banyak perbedaan ditambah usia hubungan kami sedang banyak perselisihan. Hubungan di 1 tahun pertama menurutku adalah manis-manis percintaan, apalagi untuk kami bersama tidak memerlukan waktu lama. Hubungan 1 ke 2 tahun ini adalah babak dimana egoisku dan egoisnya semakin terlihat. Belum lama ini aku dan Sofie terlibat dalam perseteruan hebat bak badai “florance” pun akhirnya terjadi,,,

Sampai akhirnya aku harus bercerita lewat tulisan ini, malam tepatnya pukul 09.00 p.m nada mesangger berbunyi dari handphone, aku yang masih berbaring santai diatas kasur mengambil gawai ku yang ku letakan diatas meja yang masih ku charger. Ada pesan masuk ternyata di mesangger facebookku dari orang bernama “Kia Nirmala”. Aku sama sekali tidak mengenal dia yang aku tau dia adalah orang yang sering menyukai postinganku baik di facebook, bahkan beberapa sosial media miliku seperti instagram dan juga path sebelum path menguburkan diri dari media maya.

“Hai Rendy...”

“Ya.” kataku membalas.

“Lagi dimana?” tanya seseorang ini.

“Dirumah, gimana ada yang bisa dibantu?” Perasaanku membatasi rasa penasaran ini. Kenapa ada orang yang ya aku tau dia cuma sebatas di sosial media, dan aku tau dia ada di satu kota yang sama denganku kali ini, tapi kok tumben banget chating...

Apa kalian pernah ada diposisiku? Ada orang yang sering kepoin snapgram, setiap postingan kalian sampai akhirnya kalian jadi kepo juga sama tuh orang, ya aku diposisi itu sekarang... Sosial media ternyata bisa mematikan hubungan yang ada, dan menciptakan hubungan sosial yang baru.

“Kia mau ngajak kamu hangout, besok bisa?”

“Mmm, besok sih aku selow. mau hangout kemana? Paling mentok-mentok kita nongkrong...” Balasku.

“Iya kita nongkrong, ngobrol gitulah. Di tempat yang pastinya ga rame. Kamu kan orangnya ga suka situasi rame...”

Aku terkejut membaca chatingnya, kali ini kok dia tau aku emang ga suka nongkrong ditempat crawded . Ah,,, aneh ini...

Aku membalas secukupnya dengan menutupi rasa penasaranku. “Ya terserah kamu aja, yang pasti jangan tempat rame.”

“Oke besok sore, jam 4. Aku jemput kamu Ren. Share location aja.”

Aneh-aneh kataku, kok iya aku malah nerima tawaran. Sesimple itu aku udah masuk dalam algoritmanya.

Singkat cerita, hari ini sudah jam 03:50, aku bergegas mandi.

“Aku udah di Jalan Sungai Kapuas nih, dekat point location yang kamu share semalam.”
Pesan dikirim 2 menit yang lalu. Aku baru saja selesai menyegarkan badan. Handuk masih menggulung tepat diatas perut dan menutupi sampai ke bawah lutut.
Aku membalasnya sesegera mungkin. “Kamu dibagian mana?”

“Aku masih di minimarket nih sekalian buat bekal kita ngobrol. Rumah kamu bagian mana?”

“4 rumah sebelum minimarket, rumahku di kiri jalan. Cat putih pagar merah.” kataku singkat.

“Oh iya ini aku udah keluar dari minimarket tungguin diluar.”

Dengan membawa gawai dan masih berhanduk aku bergegas keluar.
Mataku berhamburan melihat kendaraan yang lewat. Sebuah mobil Jeep Wrangler YJ hitam, pabrikan tahun 96 berhenti tepat dirumahku. jendela mobil terbuka.

“Hai,,,” seorang wanita melambaikan tangan dari mobil.

Aku mengisyaratkan  Kia untuk masuk dengan bahasa tubuh, karena aku ga mungkin jalan sama dia dengan berbungkuskan handuk doang.

“Duduk dulu yah Ki.” Kataku dari kamar.

“Iya.” Balasnya santai.

Mungkin aku ga punya attitude menurut kalian. Tapi percayalah aku begini karena merasa Kia itu seperti teman lama.

Sore itu aku memilih baju, mmm... bukan memilih tapi memang itu adalah pakaian dinasku. Celana jeans, jaket kulit dan kaos berwarna hitam juga sepatu boats. Tak lupa karet untuk mengikat rambut. Aku keluar dengan rambut yang masih terurai, menghampiri Kia dan menjabat tangannya sambil mengatakan..... “Ahhh aku kok tiba-tiba kagok sama nih cewek.” kataku dalam hati.

“Rendy kan???” tanya Kia mencairkan suasana.

“Bukan... namaku Reog Ponorogo. hahaha”

Kami tertawa dan keluar rumah menuju mobil dan aku tidak tau kami bakal kemana.
Aku melihat banyak snack dan camilan berhamburan di kursi penumpang belakang. Maklum di kota kami ga nyediain kantongan plastik lagi karena ada Peraturan Daerah baru yang melarang setiap toko dilarang menyediakan kantong plastik. Yah kalian tau kantong plastik bila dibuang akan sulit memuai, jika dibakar akan  menghasilkan asap beracun dan itu berbahaya bagi lingkungan. Oke sih nih peraturan environment gitu.

“Katamu tadi di minimarket beli bekal yah? Emang mau kemana?”

“Udah Ren, kamu ikut aja.” Balas Kia.

Selama di perjalanan kami hanya diam dan mendengar lagu Jamrud yang berjudul “Pelangi Di matamu”

“30 menit kita disini tanpa suara.” Eh ga ding FTV banget kalau gitu.
Kami mendengarkan lagu Nirvana seluruh lagu yang terhimpun dalam album berjudul “Bleach”.

Oh iya kalian harus tau siang itu kia mengenakan jaket jeans, celana jeans, sepatu kets, dengan rambut bob layer. Itu membuatku nyaman, iya nyaman karena sama, itu biasa.
Sekitar 30 menit kami berhenti di bawah bukit.

“Udah nyampe Ren.” Kia

Aku membuka pintu dan diikuti Kia.

“Kita kesana.” Kia menunjuk satu bukit yang ada di samping kami.

Butuh 15 menit menguatkan otot paha dan otot betis untuk sampai ke atas bukit. Tertulis “Pohon Satu” di sebuah plang dengan tulisan cat ala kadarnya. Ternyata di atas ga seperti yang ku asumsikan. Ada banyak pohon disana, tapi memang mereka jomblo karena tumbuh berjarak yang agak jauh jadi dari itulah pengurus tempat ini menamakan pohon satu. Pohon Satu itu cukup menyenangkan, pemandangan bukit dan laut menjadi satu kesatuan yang cukup sempurna.

“Ren kalau ngerokok, ngerokok aja.”

Aku emang jarang merokok kalau lagi jalan sama cewek terlebih Sofie, iya Sofie pacarku. Sofie itu aktivis anti rokok dari bangku kuliah.

“Aku tau Ren kadang rokok itu adalah cara buat kamu refresh diri.”
Ya! Ini point kedua dia tau tentang aku.

“Oke. Sorry yah kalau ga nyaman sama asapku.”

“Gpp, Ren selow sih sama aku.”
Aku menarik sebatang rokok dan menyulut api lewat korek kayu. Kepulan asap, ku hembuskan membentuk lingkaran.

“Pertama kali aku ngeliat kamu itu waktu ada acara gigs di kampus Borneo. Aku ngeliat kamu bebas banget ibarat negara yah kamu ga punya garis teritorial. Sebagai warga negara buatku kamu merdeka.” Kata Kia seperti tanpa memerlukan jawaban dariku.

“Terus?” Kataku

“Aku mulai ngikutin apapun kegiatan kamu dari sosial media. Yah maybe itu karena media sosial jadiin orang kadang ga punya privasi. Aku sih pernah di usiamu, aku juga ngelakuin hal yang sama. Tapi seiring berjalan waktu ternyata privasi itu mahal, ga tau apa karena aku introvert kali.”

“Kamu lagi ada masalah apa sama Sofie? Kayaknya, lagi berat banget yah?” sambung Kia.

Aku terperangah dan ini point ke 3 dia tahu tentang persoalanku “Oke, oke Ki jujur kamu banyak banget tau tentang aku? Dan persoalan ini ga pernah aku publish kemanapun, bahkan persoalan percintaanku sekalipun aku ga pernah publish.”


Aku ga tau harus bilang ini nyaman, atau malah menakutkan bagaimana ga aku seperti dimata-matai selama ini.

“Ren...” Kia menurunkan nada bicara.“ Sorry, kamu udah buat aku suka sama kamu dari awal. Tapi inget,,, ini jangan mempengaruhi perasaanmu ke Sofie. Biarin aku nikmati rasa ini dengan caraku.”

Ya... kalian bisa rasakan apa yang tengah aku rasakan. Aku hanyut,,, iya aku hanyut dalam permainan Kia. Dan ku akui cara Kia begitu sempurna.

“Oke terus mau kamu apa?” Ucapku

“Aku mau kamu cerita apapun ke aku, tanpa ada batasan. Anggap aku sebagai teman cerita lamamu. boleh?” Pinta Kia.

“Dan aku juga ga tau kamu emang kayak orang yang udah aku kenal lama. Dan terima kasih. Aku memang saat ini emang butuh ceritakan ke orang apa yang sedang aku alami. Lalu kamu datang dengan penawaran yang mana aku membutuhkan apa yang kamu tawarkan.” Ujarku

“Sekarang kamu udah boleh untuk memulai cerita kamu. Dan aku akan dengerin apapun yang kamu ceritakan.” Kia memandangku dengan mata berbinar.

Disela-sela ceritaku Kia tiba-tiba memelukku. Kami duduk di sebuah kursi yang memanjang. Kia tepat duduk di sebelahku, posisi itu tentunya memudahkan dia untuk memelukku.

“Ren, sorry yah. Lanjutin ceritanya.” Suara Kia membisik tepat di telinga kiriku.

Memang aku benar-benar terpuruk dengan apa yang terjadi antara aku dan Sofie kekasihku. Dia memintaku untuk segera melamar, karena orang tua Sofie ingin sekali melihat Sofie segera menikah. Ditambah lagi Sofie anak tunggal, tentu itu suatu hal berat. Apalagi aku dapat informasi banyak pria yang sudah datang ke rumah Sofie dan ingin menikahinya. Sedang aku untuk kerja masih serabutan, penghasilpun ga pernah nentu. Buat diri sendiri aja kadang ga terpenuhi. Hemmm,,, beratkan.


Selama aku berbicara pelukan Kia benar-benar menenangkan aku. Freak, yah ini tapi yah begitulah situasi ku.

Tiba aku merasa pundakku menjadi lembab. “Kia???”

“Sorry Ren sorry,,,”

“Kamu kenapa??? Apa tragis banget ceritaku?”

“Ga Ren, itu sama apa yang terjadi sama aku.” Kia sambil mengusap air mata yang jatuh.

“Maksudmu?”

“Iya, Ren. Maksud aku kejadian kita itu sama.” Dan Kia bercerita panjang.

Ternyata Kia sekarang ada diposisiku. Hanya beberapa algoritma kisah Kia sedikit berbeda.
Orang tua ingin Kia segera menikah namun kekasih Kia yang bernama Deri memang belum pernah bercerita hal yang serius mengenai pernikahan.

Kami adalah 2 orang, yang benar-benar dalam situasi B dan C. Ya, diibaratkan Sofie dititik A sedang aku B. Kia ada diposisi C sedang Dery kekasihnya di D. Ya begitu kurang lebih...

“Kamu dirumah ada gitar Ren?”

“Ada, kenapa?”

“Aku mau dengerin kamu main gitar.”

Matahari sudah tenggelam di ufuk timur. Aku dan Kia mulai turun dari  bukit, aku mengenggam tangan Kia. Kami tiba di rumahku, rumah gelap.

“Masuk Ki, aku hidupin lampu rumah dulu. Kamu duduk aja.”

Aku menghidupkan seluruh lampu di setiap ruangan rumah. Dan ngambil gitar yang aku simpan di kamar.

“Kamu sendirian aja dirumah?” Kia mengikuti aku sampai ke dalam ternyata.
“Iya Ki, orang tua ku di rumah Mulawarman.” Maksudnya orang tua ku tinggal di Jl. Mulawarman.

“Sini gitarmu, pintu luar ga di tutup Ren?” Balas Kia

Aku ga tau itu sebuah pertanyaan atau kalimat perintah.

“Oke.” Kataku sambil berlalu menutup pintu depan.

“Jadi di rumah sebesar ini kamu sendirian doang?”

Kia sudah duduk di kursi belajarku, menyilangkan kaki dan memeluk gitar. Sesekali ia memainkan beberapa kunci dengan teknik yang cukup baik. Skema sertifikasi Kia kira-kira ada di tahap Madya, Pratama, atau Utama yah? Duh sorry ini dampak dari RUU permusikan kali. Haha.

“Iya. Kakakku kerja di Jakarta, dan di rumah Mulawarman memang sudah disiapkan untuk hari tua Ayah dan Bundaku.”  Aku menghempaskan tubuh ke kasur sambil berpikir tumben dia ga tau soal ini, kali ini aku berpikir itu sebuah pertanyaan ketidaktahuan atau memang basa-basi doang.


“Oh gitu, oh iya aku kan mau dengerin kamu main gitar...” Kia memintaku dan melemparkan gitar tepat di pangkuanku.

Aku duduk di sisi kasur, dan mulai memetik gitar akustik milikku.
“You Are My Sunshine.” Ujar Kia.

Kali ini aku terdiam, melihat Kia dengan tatapan kosong.  You Are My Sunshine adalah lagu yang aku dan Sofie nyatakan bahwa Jimmie Davis juga Charles Mitchel sengaja menciptakannya untuk kami berdua, dan hanya untuk aku dan Sofie.

“Aku tau itu adalah lagu kesukaanmu dan Sofie, dari itu nyanyikan untukku malam ini.”

“Ren...” Kia memanggilku.

“Sorry, sorry Ki.”

“Bolehkan nyanyikan untukku, untuk malam ini.” Kia mengatakan dengan  penuh harap.

“You are My sunshine, my only sunshine....” aku mulai bernyanyi.

Kia beranjak dari kursi menuju sisi kasur duduk bersamaku...

Kia memperhatikan petikan, bibirku juga mataku...

Hingga petikan terakhir, Kia lalu menarik gitarku dan memelukku erat. Aku hanya diam, benar-benar terdiam.

“Boleh aku tidur sama kamu malam ini?”

Tiba-tiba aku teringat wajah Sofie, wajah Sofie seakan ada di setiap sudut kamarku. Aku melepaskan pelukan Kia. Maaf Ki, aku ga bisa. Ada Sofie dipikiranku.

“Serius?” Kata Kia sambil melepaskan jaket dan selanjutnya mencoba melepaskan t-shirt miliknya mencoba menggoda.

“Kia, Kia, Ki sorry, sorry, sorry banget aku ga bisa. Aku ga bisa untuk ini Ki.” Suaraku menahan tangan Kia.

“Sekalipun kamu tattooan di telinga ada piercing, kamu benar-benar pria yang hebat Ren. Walaupun orang memandangmu mungkin sering dengan tatapan yang bikin kamu ga nyaman.”

“Boleh beri aku Ciuman Ren.” sambung Kia

Spontan aku melumat habis bibir Kia, aku membuat Kia berbaring dan Kia pun menikmati apa yang ku lakukan. Sekitar 3 menit aku melepaskan bibir Kia dengan perlahan.

“Terima kasih Ren.” Kata Kia

Aku hanya berdiam dan merebahkan tubuhku di sebelah Kia.  Kami berdiam tanpa suara.
Hingga akhirnya Kia pamit untuk pulang.

Setelah tiba dirumah, Kia mengirim pesan lewat mesangger facebook. Yah, social media yang paling bertahan di zaman ini.

“Ren thanks yah udah nemenin aku.”

“Iya Ki, sama-sama aku juga makasih banget.”

“Ren, aku ga pernah nyesal semisal tadi kamu lakukan hal itu ke aku... dan aku ga pernah nyesal untuk nyerahkan keperawananku malam ini untuk kamu.”
Kia pun berlalu, malam itu.

-To Be Continued-