ALGORITMA II
Awal chat
itu dimulai dan bermula di instagram. Dalam akunku dan akun milikmu kita
bertegur sapa. Aku bukan orang yang suka main medsos karena aku orangnya
introvert banget kali ya. Sampai aku mau nyari kamu yang notabene sebagai temen lamaku, dan salah satunya menurutku
melalui social media, ku daftarkan diriku disalah satu platform bernama
instagram. Tak terasa berawal dari ku
follow akunmu, dan kau pun gercep menyapaku lewat DM. Tepat tanggal 01 Juni
2019, sambil menunggu waktu sahur itu terasa menjadi amat menyenangkan. Pria
yang ingin ku ceritakan ini bernama Deri. Deri itu ketua kelasku dari kelas 4-6
SD. Pinter sih ga juga, cuma dia punya
jiwa kepemimpinan, ah Deri sedari kecil aja kamu sudah menakjubkan.
Dan aku
Vina, gadis kecil yang biasa-biasa saja, aku senang belajar. Rasanya Ranking 1
itu wajib diisi namaku. Aku pernah mendapatkan ranking 1 waktu SMP, kalian tahu
kalau semisal twitter udah ada di tahun itu mungkin berita inilah yang menjadi
Trending Topic di posisi pertama. Yah kerabat, tetangga, hingga rekan kerja Papa
sudah sering mendengarku rangking 1 bahkan di kelas 6 SD nilai UN ku masuk
peringkat 5 besar nilai terbaik nasional. Papa dan Mama jelas bangga sekali,
cita-citaku menjadi dokter hewan karena Mama selalu memberiku hadiah hewan
peliharaan dari kaki 4 bahkan unggas setiap penerimaan rapot aku pun mulai
menyukai mereka.
Oh iya
kembali ke Deri yah hihi. Deri adalah orang yang sudah diceritakan di algoritma
pertama. Ya Deri memang mempunyai pacar bernama Kia, sedikit banyak kalian
sudah mengertikan posisi hubungan mereka saat ini. Tapi please itu bukan karena
aku sebagai orang ketiganya hihi.
Aku yang
memfollow Deri, dan hampir 14 tahun aku tak pernah mendengarkan kabarnya. Iya
setelah lulus SD aku pindah ke Ibu Kota, di Jakarta. Karena aku menempati
posisi 5 nilai terbaik seluruh Indonesia aku mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan SMP di Sekolah Unggulan, maklum di Kota ku Tarakan itu belum ada
sekolah unggulan hihihi.
Aku pun
bergegas menyapa Deri Nasution, ketua kelas 3 periode dan tak tergantikan pun
di hatiku. Yah Deri seringkali mengajakku ke kantin. Sampai-sampai anak satu
sekolah sering mengejekku kalau aku pacaran sama Deri, menyebalkan bukan???
Tapi ga tau setiap disorakin “Cieee Vina pacaran nih yeee sama Deri” pipi ku
menjadi merah-merona, aku rindu sorakan itu.
Setelah
lulus SD sorakan itu sudah tidak pernah terngiang lagi di telingaku, itu lebih
menyebalkan. Setiap hari selama mulai melanjutkan di sekolah unggulan itu aku
dan Deri tak lagi pernah bertegur-sapa. Di tambah lagi orang tua ku pun pindah
tugas ke Palembang. Itu yang menyebabkan
nilaiku di kelas 1 SMP menjadi jeblok, jeblok itu bahasa Indonesianya menjadi
turun. Moment Ramadhan yang harusnya aku mudik, aku malah mudik ke kampung yang
aku tak pernah kenal sejarahnya. Berbeda dengan Tarakan bahkan aku sampai
mengerti kenapa kota itu dinamakan Tarakan. Yah intinya kota itu terdiri dari
dua kosa kata yang berasal dari bahasa suku Tidung yang berarti tempat singgah
para raja untuk makan. Ah begitulah Deri pria yang mengajarkan aku arti
kekaguman.
Setelah
sekian lama tidak pernah lagi berkunjung ke Tarakan Papa dan Mama memutuskan
tahun ini kami menghabiskan libur lebaran di kota kelahiran ku itu.
Menyenangkan sekali,,, yeaah Tarakan tunggu aku.
Chat ku
dengan Deri berlanjut hingga keeseokannya, kami sudah bertukaran kontak WA.
Bahkan deri membangunkan dengan voice note, katanya begini. “Bagi yang merasa
bernama Vina Ramadhani, anak Dari Pak Rahmad dan Bu Dani, silahkan bangun
sebelum sahurnya di petuk ayam.” Duh Deri sama ayam aja kok pelit sih hihi. “
Ayo bangun.”
“Iya ini
baru bangun, kamu sama ayam aja kok pelit sih. Huh.” Kesalku
Oh iya
karena masih SD kultur di Kota ku ini
manggil nama pakai nama orang tua sebagai bahan ejekan, maka itu Deri tau
banget nama ortuku, malah dia inget sampai sekarang. Dan lucu lagi, kenapa
waktu itu aku harus marah misal orang lain menyapa ku dengan nama orang tua ku.
Toh memang mereka yang melahirkan aku, justru misal aku di panggil dengan nama
security komplek yah wajar dong aku marah. Kan memang aku anak Mama Papa ah
kalau diingat-ingat masa-lalu itu emang banyak lucunya hihihi.
Dan aku
pun bertemu dengan Deri mantan ketua kelasku saat SD. Aku sengaja selepas sahur
dan setalah shalat shubuh langsung bergegas untuk menyiapkan diri dan dalam
perjanjian di chat tadi sih aku minta jemput sama Deri di hotel tempat aku dan
orang tuaku beristirahat.
Tapi aku
ingin memberikan kejutan dengan aku yang menjemput Deri. Dari semalam setelah
tiba di bandara aku memang sibuk mencari rental mobil untuk kendaraan selama di
kota kelahiranku ini. Dan Alhamdulillah teknologi memudahkan untuk mendapatkan
rental mobil yang diinginkan.
Aku sudah
menuju daerah Sebengkok, Sebengkok itu nama daerah di Tarakan. Ingat Sebengkok,
emang ada Selurusnya? Ga ada hihi.
Aku tiba tepat di Rumah Deri, tidak banyak
yang berubah dari rumah Deri sejak terakhir ku tinggalkan, hanya pemukiman
semakin padat dan hanya warna cat rumah Deri yang berubah, dan semakin banyak
bunga di pekarangan.
Aku
langsung membuka pagar rumah dan mengetuk pintu, "tok tok tok,,,"
Ada sosok
seorang Ibu-Ibu berumur 56 Tahun keluar dari bilik pintu.
“Cari
siapa Mbak?” Kata Ibu itu…
“Ada Deri
bu?”
“Nak
Vina???”
Ibu Deri
masih mengingatku ternyata, dia begitu peka dengan suaraku maklum aku cadel.
“Iya Bu
ini Vina.”
Seketika
itu Ibu Deri langsung memelukku dan mengacak-ngacak pundakku.
“Kamu
makin dewasa makin cantik. Ntar yah Ibu panggilkan Deri. Ayo masuk,”
Sambil
menuju ruang tengah dan mempersilahkan aku untuk menunggu, Ibu memerkan foto ku
bersama Deri saat SD, ntah siapa yang sengaja meletakannya di almari ruang
tengah.
Sambil
menatap foto lama itu, dan mengusap-usap wajah kami berdua yang sangat ceria.
Deri pun menyapaku.
“Ngapain
kesini, perjanjiannya kan aku yang jemput ke hotel.”
“Deri…”
Aku langsung memeluk Deri.
Yang ku
rasakan seketika semua menjadi lebih
damai. Bak waktu seakan-akan terhenti,
“Nah
akhirnya Ratu sama Raja ketemu lagi.” Suara Ibu yang menyadarkan aku.
Tanpa
sengaja air mataku menetes, yah Deri teman lamaku. Sahabat karibku tempatku
menyimpan semua cerita saat masih beranjak merasa dewasa. Aku terkesiap
melepaskan pelukan paling damai yang meneduhkan.
“Kamu kok
nangis ih...” Deri
“Hihi.”
Aku hanya bisa tertawa kecil sambil menghapus air mataku.
Eh akukan
puasa, mana meluk yang bukan muhrim lagi. Hehe
“Kamu mau
aku anterin kemana? Sekolahan atau di siring Gunung Amal?”
Sekolahan
dan siring Gunung Amal adalah tempat paling berkesan buat kami. Aku seneng kalau
Deri ngajakin ke siring pas sore-sore. Dia selalu ngomentarin gaya-gaya orang
yang lewat, kadang dia dubbing suara orang-orang yang sedang kami perhatikan.
“Terserah
kamu Der bawa aku kemana pun.” Dengan senyum paling merekah ku jawab.
“Oke kita
ke sekolah dulu yah.”
“Siap Pak
Ketua Kelas.” Jawabku sambil memberi hormat.
Taman
tempatku sering belajar dan bercerita dengan Deri pun kini sudah banyak yang
dirubah, Mulai tata letak gajebo dan tanaman di sekeliling taman, semua nampak
rimbun.
Namun itu
tidak menghilangkan sedikitpun ingatanku dengan orang paling kharismatik yang
aku kenal ini.
“Der,,,
Kamu sekarang kerja dimana? Aku liat instagram kamu isinya foto pemandangan
semua.”
“Hehehe
aku kerja di kontruksi gitu ikut kontraktor.”
“Koas kamu
gimana?”
“Yah gitu
tinggal setengah tahun lagi Der?”
“Ayah
Bunda apa kabar?”
“Nanti
kita ketemu yah, Ayah udah 2 kali nanyain kabar kamu loh Der.”
“Mesti dia
nanya soal bambu.”
“Hah,
bambu?”
“Eh, ga ga
pasti dia rindu obrolin soal kamu.” Pungkas Deri.
“Bambu
terus aku? Ah dasar anak teknokrat membingungkan. Tapi kamu masih kuliahkan?
Enak ya anak teknik belum lulus udah dapat kerja.” Sebenarnya sih aku pura-pura
ga tau waktu SD Deri pernah ditantang Ayah buat nyari bambu dengan ruas yang saling
bertemu.
“Haha ga
juga, semua tergantung pribadi masing-masing lagi kali. Solidaritas anak teknik
memang banyak membantu ketika ada kerjaan link lebih mudah didapat.”
Der inget
ga dulu disini tempat kita ngobrol banyak hal termasuk mimpi kita. Kamu pernah
mimpi buat gedung yang ga ngerusak alam. Agak aneh sih waktu itu aku dengernya.
Tapi hari ini mimpi kamu pelan-pelan kamu raih. Kamu juga pernah ditanya Ibumu
“Mas ga ngeles?” kamu jawab dengan nada datar “Ya Ibu ga percaya banget sih
sama guru mas, tenang Bu les itu Cuma untuk orang-orang yang ga yakin sama
pendidikan di negeri sendiri.” Ah Deri kamu itu emang pria cerdas. Sekalipun
mimpi kamu sering aneh. Hihi.
“Kamu
inget Vin, disini kita sering banget ngobrol banyak hal?”
Seketika
Deri membuyarkan khayalanku “Oh iya yah Der jadi keinget juga hihi. Dulu
orang-orang malah sering sorakin kita pacaran-pacaran.” Syukur waktu SMA aku
ikut ekstrakulikuler Drama jadi bisa sedikit nyamarin ekspresi.
“Waktu
disorakin kalau kita pacaran kamu seneng? Seinget ku sih kamu suka
senyum-senyum malu tapi bahagia gitu.”
“Ih mana
ada kamu itu suka nerka. Mana suka ngawur lagi.” Tukasku,
“Iya deh
iya, tapi kok ngegas gitu. Berartikan bener?” Goda Deri.
“Ngeselinnya
kok ga ilang-ilang. Terserah tafsir Tuan saja.”
“Oke deh aku
nafsirkan kalau kamu ngefans.” Balas Deri
“Terserah
Tuan.” Suaraku ku buat sesederhana mungkin biar dia percaya.
“Haha
dasar.” Deri mengacak-acak rambutku. Sentuhan yang ga asing itu.
Emang agak
sulit yah kalau udah dewasa antar dua manusia berteman. Terlalu banyak rasa
yang berbeda. Sedikit perhatian jadi nyaman. Sedikit sentuhan jadi baper. Yah
kek aku gini. Tapi kembali, aku lumayan terampil dalam ekstrakulikuler drama Der.
Lanjut,
Deri mengajak aku ke sebuah lorong. Lorong yang ga mungkin aku lupain. Dulu ada
sekelompok Kakak kelas yang sering gangguin aku. Waktu pulang sekolah mereka
mengambil tasku dan melempar-lempar agar ku rebut. Karena badanku masih mini
kala itu, aku Cuma bisa nangis. Terus si ketua kelas inilah yah menyelamatkan
tasku dan aku. Deri juga sempat dipukuli
sama komplotan kakak kelas itu. Tapi kejadian itu yang membuat aku akrab sama
Deri.
“Kamu
ingat sama kejadian itu?” Deri tersenyum. Yah masih ada bekas luka dikening
Deri. Deri sempat dilempar batu waktu melindungiku hingga mengenai bagian
pelipis mata.
Aku tanpa
sadar mengelus bekas luka itu dan berkata “Makasih yah Der udah jagain aku.”
“Apaan sih
ini kok kamu jadi mellow.”
“Deriii….”Aku
memukul bahunya.
“Kita ke
satu tempat lagi.” Dia menggengam tanganku.
Yah dulu
juga sering banget pegangan tangan kalau pulang sekolah. Namun kali ini kok
nyaman banget yah…
“Kamu
masih inget ga di pohon ini?”
“Ini pohon
tempat kamu pernah jatuhkan terus tangan kamu patah!!! hihi” Ejekku
“Kamu lupa
aku manjat buat apa?”
“Emang
buat apa yak kamu iseng aja….” Suaraku terputus menyembunyikan sesuatu.
“Tunggu
disini.” Deri memanjat.
Yah aku
hanya diam. Mengingat semua kejadian.
Dulu kami
sengaja menulis di sebuah botol yang diikatkan pada pohon rindang. Dan kami akan membacakan pesan di botol
itu bila dewasa nanti bertemu lagi. Yah
itu alasan kenapa Deri jatuh sampai tangannya mengalami cidera yang cukup
serius.
Deri sudah
turun membawa 2 botol yang berisikan pesan. Setiap botol sudah diberikan nama,
pohon itu emang ga pernah di potong jadi botol kami aman.
Deri
menyodorkan botol yang bertuliskan namanya dan Deri memegang botol bertuliskan
namaku. Kami pun duduk bersandar di batang tubuh pohon.
Aku membaca
surat yang tersimpan dalam botol “Vina Ramadhan, tulisan ini udah aku ubah. Sekarang
aku kelas 3 SMA. Setiap tahun aku selalu ganti tulisan ini, dan mungkin ini
yang terakhir kalinya. Kita akrab dari kelas 4 SD sampai kelas 6 SD. Dulu aku
ngarepnya pas SMP, SMA sampai kuliah kita bisa sama-sama. Dulu aku kira aku
Cuma suka sekedar suka. SMP aku masih sering kepikiran kamu, dan aku kira itu hanya
cinta monyet kayak orang-orang bilang. Pas sudah SMA nama kamu semakin kuat
diingatanku.
Rasanya aku benar-benar jatuh hati ke kamu.” Begitu pesan yang
tertulis di botol itu.
Sedang
pesan yang ku tulis di botol itu. “Deri, aku bahagia punya temen kayak kamu.
Kamu itu kayak kakak ku. Aku bahagia punya temen seperti kamu.”
“Vin…”
“Iya,
Der…”
“Kamu udah
selesai baca?” Deri.
Aku masih
ingat sekali, dan aku masih sering memikirkan soal pesan yang kita gantung ini.
Ini salah satu alasan kenapa aku ga mau pacaran. Sampai hari ini adalah Deri
sebagai alasan terkuat. Yah perasaan ku sama persis dengan apa yang dia
rasakan. Hanya saat SD aku ga mungkin bisa berbahasa seperti surat Deri.
“Iya, Der…
kamu bener ngubah pesen ini?”
“Iya Vin.”
“Tapi kan
kamu sekarang punya pacar?” tanyaku polos.
“Aku kira
kamu ga bakal datang dan hadir lagi kesini.”
“Aku ga
bakal nyakitin orang Der.” .
“Kamu
mungkin ga akan nyakitin hati orang lain, tapi kamu bakal nyakitin aku. Aku
yang udah pernah nungguin kamu.” Harap Deri.
“Namanya
siapa Der?”
“Kia.”
Jawab Deri ketus
“Terus
kamu udah sampai mana hubungan sama dia?”
“Berapa
kali dia ngajakin aku nikah, tapi aku masih berharap sama kamu Vin…” Jawabnya
lirih
“Kalau
kamu yakin aku akan datang, kenapa kamu tetap ngajakin Kia berhubungan?”
“Kadang
yakin belum tentu terjadikan Vin… Yang pasti aku punya rasa yang besar ke
kamu.”
Huh semua
jadi serba kikuk saat ini.
“Aku ga
mungkin nyakitin hati wanita itu Der?” Aku menyampaikan dengan nada penuh
harap.
“Dan
berarti kamu lebih milih nyakitin aku yang rasa cintanya ada di kamu?”
“Bukan
gitu, bukan gitu.” Aku menggengam tangan Deri untuk memberikan dia pengertian.
Aku melanjutkan “It’s oke Der. Pacaran itu sama sekali rulenya ga ada. Aku ga
mau pacaran, kalau kamu emang yakin sama aku. Datangi Papa dan Mama, sampaikan
niat kamu ini ke mereka. Kamu pahamkan maksudku?”
“Kamu mau
dengan hubungan pernikahan?” Pertanyaan yang dilanjutkan dengan keterangan.
“Malam ini aku Ibu dan Ayahku akan menemui Papa juga Mamamu.”
“Kamu
seriuskan Der?”
“Kalau
inginmu seperti itu aku serius dan insyaAllah aku siap.”
*****
Siang
sudah terik aku dan Deri bergegas meninggalkan sekolah.
Kami pun
sudah tiba di halaman rumah Deri.
“Vin,
masuk dulu ya.” Ajak Deri.
“Boleh.”
Deri
mempersilahkan aku duduk di sofa, dan Deri masuk ke ruang tengah. Ada
pembicaraan bersama ayah, ibu, dan Deri terdengar samar-samar.
Ayah dan
Ibu Deri keluar dari gorden yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah.
“Nak Vina
yakin sama Deri?" Ibu duduk
disebelahku.
Lagi-lagi
aku terperangah oleh Deri, dia bulat menyatakan itu. Tapi aku masih ragu, bukan
ragu atas perasaanku. Seketika wanita bernama Kia ada dipikiranku sekitar 80%
mempengaruhiku saat ini.
“Vina mau
bu, tapi biar Vina bicarakan ke Papa sama Mama dulu.” Ucapku mencoba
menyakinkan Ibu dan menyakinkan diriku sendiri tentu.
Selanjutnya
aku dan Deri menuju hotel.
“Hay
Deri?!” Sapa Papa.
“Hallo om.”
Deri sumringah dan berpelukan dengan Papa.
Kalian
sendiri taukan, Deri sama Papa itu cocok banget. Mungkin karena aku anak
tunggal kali yak hihi. Terus Papa ga punya tandem gitu.
Mereka
ngobrol banyak di balkon, aku bersiap-siap mandi. Mama mana yah? Oh pasti Mama
lagi berenang.
Setelah
aku usai menyegarkan tubuh, Mama dan Papa sedang berdiskusi. Deri tidak tampak
diantara mereka. “Kemana Deri?” kataku membatin.
Mama melihatku
dan memintaku untuk bergabung bersama mereka.
“Deri
sedang menjemput Bapak dan Ibunya. Kita berbuka bersama sekalian ngobrolin niat
baik Deri ke kamu.” Kata Papa serius.
Secepat
inikah??? Renungku di balkon kala itu.
*****
Aku sudah
mengunakan gaun dengan warna putih, tepat sekitar 3 bulan yang lalu aku bertemu
Deri. Ya semua persiapan pernikahanku dengan Deri menjadi mudah, karena aku
menggunakan jasa wedding organizer bernama MA Wedding Planner and Organizer
milik anak relasi papa dulu.
Kurang
dari 15 menit yang lalu Deri mengucapkan Ijab Qabul dihadapan hadirin dan tamu
undangan.
Sekarang
Deri tepat di sampingku, kami sedang melakukan sesi foto dengan memamerkan
kartu nikah.
Aku
bahagia, bahagia yang tak terhingga. Tapi perasaan bersalah itu masih kerap
mengangguku, bagaimana dengan Kia? Kia masih ada dipikiranku, namun aku enggan
menanyakan wanita itu kepada suamiku Deri Nasution.
Dan saat
resepsi, aku melihat ada seseorang yang menarik perhatianku, yah aku memang ga
pernah nanya ke Deri soal Kia. Tapikan aku wanita, jiwa kepoku tingkat Detektif
Conan pasti aktif dong. And than, ya itu Kia. Kia datang dengan menggunakan
dress hitam dan semua serba hitam. Ya di tengah kebahagiaanku ada jiwa yang
sedang berkabung dan itu Kia.
Kia
menghampiri kami dan menyalami orang tuaku dengan baik dan sekarang dia sedang
menyalami Deri.
Ku lihat Kia mencoba mendekati wajah Deri sambil menjabat
tangan suamiku. Aku mendengar samar-samar suara Kia.
Kia berbisik lirih “Kalau ga mau serius harusnya
jangan pernah kasih harapan ke wanita Der.” Kia pun berlalu tanpa menyalamiku.
-To Be
Continued-