Rabu, 11 Desember 2019

Algoritma I


Algoritma I
Perkenalkan namaku Rendy, aku seorang vokalis metal yang mana basic suara ku memang parau tapi itulah karakter kuatku diatas panggung, aku juga tukang tatto dan hampir 30% tubuhku pun bertattoo, aku seorang baberman tapi rambutku sendiri paling langka di cukur, aku hanya mengikat rambutku, dan seorang pacar dari wanita bernama Sofie. Hubungan kami masih dalam persoalan yang klasik yaitu LDR. 

Sofie itu anaknya manis juga anggun tapi sekali marah dia lebih mirip Manny Pacquaiao kalau diatas ring. Aku dan Sofie sudah menjalin hubungan sekitar 2 tahun, yah hubungan yang tidak singkat dan tidak panjang. Dalam hubungan tentu banyak perbedaan ditambah usia hubungan kami sedang banyak perselisihan. Hubungan di 1 tahun pertama menurutku adalah manis-manis percintaan, apalagi untuk kami bersama tidak memerlukan waktu lama. Hubungan 1 ke 2 tahun ini adalah babak dimana egoisku dan egoisnya semakin terlihat. Belum lama ini aku dan Sofie terlibat dalam perseteruan hebat bak badai “florance” pun akhirnya terjadi,,,

Sampai akhirnya aku harus bercerita lewat tulisan ini, malam tepatnya pukul 09.00 p.m nada mesangger berbunyi dari handphone, aku yang masih berbaring santai diatas kasur mengambil gawai ku yang ku letakan diatas meja yang masih ku charger. Ada pesan masuk ternyata di mesangger facebookku dari orang bernama “Kia Nirmala”. Aku sama sekali tidak mengenal dia yang aku tau dia adalah orang yang sering menyukai postinganku baik di facebook, bahkan beberapa sosial media miliku seperti instagram dan juga path sebelum path menguburkan diri dari media maya.

“Hai Rendy...”

“Ya.” kataku membalas.

“Lagi dimana?” tanya seseorang ini.

“Dirumah, gimana ada yang bisa dibantu?” Perasaanku membatasi rasa penasaran ini. Kenapa ada orang yang ya aku tau dia cuma sebatas di sosial media, dan aku tau dia ada di satu kota yang sama denganku kali ini, tapi kok tumben banget chating...

Apa kalian pernah ada diposisiku? Ada orang yang sering kepoin snapgram, setiap postingan kalian sampai akhirnya kalian jadi kepo juga sama tuh orang, ya aku diposisi itu sekarang... Sosial media ternyata bisa mematikan hubungan yang ada, dan menciptakan hubungan sosial yang baru.

“Kia mau ngajak kamu hangout, besok bisa?”

“Mmm, besok sih aku selow. mau hangout kemana? Paling mentok-mentok kita nongkrong...” Balasku.

“Iya kita nongkrong, ngobrol gitulah. Di tempat yang pastinya ga rame. Kamu kan orangnya ga suka situasi rame...”

Aku terkejut membaca chatingnya, kali ini kok dia tau aku emang ga suka nongkrong ditempat crawded . Ah,,, aneh ini...

Aku membalas secukupnya dengan menutupi rasa penasaranku. “Ya terserah kamu aja, yang pasti jangan tempat rame.”

“Oke besok sore, jam 4. Aku jemput kamu Ren. Share location aja.”

Aneh-aneh kataku, kok iya aku malah nerima tawaran. Sesimple itu aku udah masuk dalam algoritmanya.

Singkat cerita, hari ini sudah jam 03:50, aku bergegas mandi.

“Aku udah di Jalan Sungai Kapuas nih, dekat point location yang kamu share semalam.”
Pesan dikirim 2 menit yang lalu. Aku baru saja selesai menyegarkan badan. Handuk masih menggulung tepat diatas perut dan menutupi sampai ke bawah lutut.
Aku membalasnya sesegera mungkin. “Kamu dibagian mana?”

“Aku masih di minimarket nih sekalian buat bekal kita ngobrol. Rumah kamu bagian mana?”

“4 rumah sebelum minimarket, rumahku di kiri jalan. Cat putih pagar merah.” kataku singkat.

“Oh iya ini aku udah keluar dari minimarket tungguin diluar.”

Dengan membawa gawai dan masih berhanduk aku bergegas keluar.
Mataku berhamburan melihat kendaraan yang lewat. Sebuah mobil Jeep Wrangler YJ hitam, pabrikan tahun 96 berhenti tepat dirumahku. jendela mobil terbuka.

“Hai,,,” seorang wanita melambaikan tangan dari mobil.

Aku mengisyaratkan  Kia untuk masuk dengan bahasa tubuh, karena aku ga mungkin jalan sama dia dengan berbungkuskan handuk doang.

“Duduk dulu yah Ki.” Kataku dari kamar.

“Iya.” Balasnya santai.

Mungkin aku ga punya attitude menurut kalian. Tapi percayalah aku begini karena merasa Kia itu seperti teman lama.

Sore itu aku memilih baju, mmm... bukan memilih tapi memang itu adalah pakaian dinasku. Celana jeans, jaket kulit dan kaos berwarna hitam juga sepatu boats. Tak lupa karet untuk mengikat rambut. Aku keluar dengan rambut yang masih terurai, menghampiri Kia dan menjabat tangannya sambil mengatakan..... “Ahhh aku kok tiba-tiba kagok sama nih cewek.” kataku dalam hati.

“Rendy kan???” tanya Kia mencairkan suasana.

“Bukan... namaku Reog Ponorogo. hahaha”

Kami tertawa dan keluar rumah menuju mobil dan aku tidak tau kami bakal kemana.
Aku melihat banyak snack dan camilan berhamburan di kursi penumpang belakang. Maklum di kota kami ga nyediain kantongan plastik lagi karena ada Peraturan Daerah baru yang melarang setiap toko dilarang menyediakan kantong plastik. Yah kalian tau kantong plastik bila dibuang akan sulit memuai, jika dibakar akan  menghasilkan asap beracun dan itu berbahaya bagi lingkungan. Oke sih nih peraturan environment gitu.

“Katamu tadi di minimarket beli bekal yah? Emang mau kemana?”

“Udah Ren, kamu ikut aja.” Balas Kia.

Selama di perjalanan kami hanya diam dan mendengar lagu Jamrud yang berjudul “Pelangi Di matamu”

“30 menit kita disini tanpa suara.” Eh ga ding FTV banget kalau gitu.
Kami mendengarkan lagu Nirvana seluruh lagu yang terhimpun dalam album berjudul “Bleach”.

Oh iya kalian harus tau siang itu kia mengenakan jaket jeans, celana jeans, sepatu kets, dengan rambut bob layer. Itu membuatku nyaman, iya nyaman karena sama, itu biasa.
Sekitar 30 menit kami berhenti di bawah bukit.

“Udah nyampe Ren.” Kia

Aku membuka pintu dan diikuti Kia.

“Kita kesana.” Kia menunjuk satu bukit yang ada di samping kami.

Butuh 15 menit menguatkan otot paha dan otot betis untuk sampai ke atas bukit. Tertulis “Pohon Satu” di sebuah plang dengan tulisan cat ala kadarnya. Ternyata di atas ga seperti yang ku asumsikan. Ada banyak pohon disana, tapi memang mereka jomblo karena tumbuh berjarak yang agak jauh jadi dari itulah pengurus tempat ini menamakan pohon satu. Pohon Satu itu cukup menyenangkan, pemandangan bukit dan laut menjadi satu kesatuan yang cukup sempurna.

“Ren kalau ngerokok, ngerokok aja.”

Aku emang jarang merokok kalau lagi jalan sama cewek terlebih Sofie, iya Sofie pacarku. Sofie itu aktivis anti rokok dari bangku kuliah.

“Aku tau Ren kadang rokok itu adalah cara buat kamu refresh diri.”
Ya! Ini point kedua dia tau tentang aku.

“Oke. Sorry yah kalau ga nyaman sama asapku.”

“Gpp, Ren selow sih sama aku.”
Aku menarik sebatang rokok dan menyulut api lewat korek kayu. Kepulan asap, ku hembuskan membentuk lingkaran.

“Pertama kali aku ngeliat kamu itu waktu ada acara gigs di kampus Borneo. Aku ngeliat kamu bebas banget ibarat negara yah kamu ga punya garis teritorial. Sebagai warga negara buatku kamu merdeka.” Kata Kia seperti tanpa memerlukan jawaban dariku.

“Terus?” Kataku

“Aku mulai ngikutin apapun kegiatan kamu dari sosial media. Yah maybe itu karena media sosial jadiin orang kadang ga punya privasi. Aku sih pernah di usiamu, aku juga ngelakuin hal yang sama. Tapi seiring berjalan waktu ternyata privasi itu mahal, ga tau apa karena aku introvert kali.”

“Kamu lagi ada masalah apa sama Sofie? Kayaknya, lagi berat banget yah?” sambung Kia.

Aku terperangah dan ini point ke 3 dia tahu tentang persoalanku “Oke, oke Ki jujur kamu banyak banget tau tentang aku? Dan persoalan ini ga pernah aku publish kemanapun, bahkan persoalan percintaanku sekalipun aku ga pernah publish.”


Aku ga tau harus bilang ini nyaman, atau malah menakutkan bagaimana ga aku seperti dimata-matai selama ini.

“Ren...” Kia menurunkan nada bicara.“ Sorry, kamu udah buat aku suka sama kamu dari awal. Tapi inget,,, ini jangan mempengaruhi perasaanmu ke Sofie. Biarin aku nikmati rasa ini dengan caraku.”

Ya... kalian bisa rasakan apa yang tengah aku rasakan. Aku hanyut,,, iya aku hanyut dalam permainan Kia. Dan ku akui cara Kia begitu sempurna.

“Oke terus mau kamu apa?” Ucapku

“Aku mau kamu cerita apapun ke aku, tanpa ada batasan. Anggap aku sebagai teman cerita lamamu. boleh?” Pinta Kia.

“Dan aku juga ga tau kamu emang kayak orang yang udah aku kenal lama. Dan terima kasih. Aku memang saat ini emang butuh ceritakan ke orang apa yang sedang aku alami. Lalu kamu datang dengan penawaran yang mana aku membutuhkan apa yang kamu tawarkan.” Ujarku

“Sekarang kamu udah boleh untuk memulai cerita kamu. Dan aku akan dengerin apapun yang kamu ceritakan.” Kia memandangku dengan mata berbinar.

Disela-sela ceritaku Kia tiba-tiba memelukku. Kami duduk di sebuah kursi yang memanjang. Kia tepat duduk di sebelahku, posisi itu tentunya memudahkan dia untuk memelukku.

“Ren, sorry yah. Lanjutin ceritanya.” Suara Kia membisik tepat di telinga kiriku.

Memang aku benar-benar terpuruk dengan apa yang terjadi antara aku dan Sofie kekasihku. Dia memintaku untuk segera melamar, karena orang tua Sofie ingin sekali melihat Sofie segera menikah. Ditambah lagi Sofie anak tunggal, tentu itu suatu hal berat. Apalagi aku dapat informasi banyak pria yang sudah datang ke rumah Sofie dan ingin menikahinya. Sedang aku untuk kerja masih serabutan, penghasilpun ga pernah nentu. Buat diri sendiri aja kadang ga terpenuhi. Hemmm,,, beratkan.


Selama aku berbicara pelukan Kia benar-benar menenangkan aku. Freak, yah ini tapi yah begitulah situasi ku.

Tiba aku merasa pundakku menjadi lembab. “Kia???”

“Sorry Ren sorry,,,”

“Kamu kenapa??? Apa tragis banget ceritaku?”

“Ga Ren, itu sama apa yang terjadi sama aku.” Kia sambil mengusap air mata yang jatuh.

“Maksudmu?”

“Iya, Ren. Maksud aku kejadian kita itu sama.” Dan Kia bercerita panjang.

Ternyata Kia sekarang ada diposisiku. Hanya beberapa algoritma kisah Kia sedikit berbeda.
Orang tua ingin Kia segera menikah namun kekasih Kia yang bernama Deri memang belum pernah bercerita hal yang serius mengenai pernikahan.

Kami adalah 2 orang, yang benar-benar dalam situasi B dan C. Ya, diibaratkan Sofie dititik A sedang aku B. Kia ada diposisi C sedang Dery kekasihnya di D. Ya begitu kurang lebih...

“Kamu dirumah ada gitar Ren?”

“Ada, kenapa?”

“Aku mau dengerin kamu main gitar.”

Matahari sudah tenggelam di ufuk timur. Aku dan Kia mulai turun dari  bukit, aku mengenggam tangan Kia. Kami tiba di rumahku, rumah gelap.

“Masuk Ki, aku hidupin lampu rumah dulu. Kamu duduk aja.”

Aku menghidupkan seluruh lampu di setiap ruangan rumah. Dan ngambil gitar yang aku simpan di kamar.

“Kamu sendirian aja dirumah?” Kia mengikuti aku sampai ke dalam ternyata.
“Iya Ki, orang tua ku di rumah Mulawarman.” Maksudnya orang tua ku tinggal di Jl. Mulawarman.

“Sini gitarmu, pintu luar ga di tutup Ren?” Balas Kia

Aku ga tau itu sebuah pertanyaan atau kalimat perintah.

“Oke.” Kataku sambil berlalu menutup pintu depan.

“Jadi di rumah sebesar ini kamu sendirian doang?”

Kia sudah duduk di kursi belajarku, menyilangkan kaki dan memeluk gitar. Sesekali ia memainkan beberapa kunci dengan teknik yang cukup baik. Skema sertifikasi Kia kira-kira ada di tahap Madya, Pratama, atau Utama yah? Duh sorry ini dampak dari RUU permusikan kali. Haha.

“Iya. Kakakku kerja di Jakarta, dan di rumah Mulawarman memang sudah disiapkan untuk hari tua Ayah dan Bundaku.”  Aku menghempaskan tubuh ke kasur sambil berpikir tumben dia ga tau soal ini, kali ini aku berpikir itu sebuah pertanyaan ketidaktahuan atau memang basa-basi doang.


“Oh gitu, oh iya aku kan mau dengerin kamu main gitar...” Kia memintaku dan melemparkan gitar tepat di pangkuanku.

Aku duduk di sisi kasur, dan mulai memetik gitar akustik milikku.
“You Are My Sunshine.” Ujar Kia.

Kali ini aku terdiam, melihat Kia dengan tatapan kosong.  You Are My Sunshine adalah lagu yang aku dan Sofie nyatakan bahwa Jimmie Davis juga Charles Mitchel sengaja menciptakannya untuk kami berdua, dan hanya untuk aku dan Sofie.

“Aku tau itu adalah lagu kesukaanmu dan Sofie, dari itu nyanyikan untukku malam ini.”

“Ren...” Kia memanggilku.

“Sorry, sorry Ki.”

“Bolehkan nyanyikan untukku, untuk malam ini.” Kia mengatakan dengan  penuh harap.

“You are My sunshine, my only sunshine....” aku mulai bernyanyi.

Kia beranjak dari kursi menuju sisi kasur duduk bersamaku...

Kia memperhatikan petikan, bibirku juga mataku...

Hingga petikan terakhir, Kia lalu menarik gitarku dan memelukku erat. Aku hanya diam, benar-benar terdiam.

“Boleh aku tidur sama kamu malam ini?”

Tiba-tiba aku teringat wajah Sofie, wajah Sofie seakan ada di setiap sudut kamarku. Aku melepaskan pelukan Kia. Maaf Ki, aku ga bisa. Ada Sofie dipikiranku.

“Serius?” Kata Kia sambil melepaskan jaket dan selanjutnya mencoba melepaskan t-shirt miliknya mencoba menggoda.

“Kia, Kia, Ki sorry, sorry, sorry banget aku ga bisa. Aku ga bisa untuk ini Ki.” Suaraku menahan tangan Kia.

“Sekalipun kamu tattooan di telinga ada piercing, kamu benar-benar pria yang hebat Ren. Walaupun orang memandangmu mungkin sering dengan tatapan yang bikin kamu ga nyaman.”

“Boleh beri aku Ciuman Ren.” sambung Kia

Spontan aku melumat habis bibir Kia, aku membuat Kia berbaring dan Kia pun menikmati apa yang ku lakukan. Sekitar 3 menit aku melepaskan bibir Kia dengan perlahan.

“Terima kasih Ren.” Kata Kia

Aku hanya berdiam dan merebahkan tubuhku di sebelah Kia.  Kami berdiam tanpa suara.
Hingga akhirnya Kia pamit untuk pulang.

Setelah tiba dirumah, Kia mengirim pesan lewat mesangger facebook. Yah, social media yang paling bertahan di zaman ini.

“Ren thanks yah udah nemenin aku.”

“Iya Ki, sama-sama aku juga makasih banget.”

“Ren, aku ga pernah nyesal semisal tadi kamu lakukan hal itu ke aku... dan aku ga pernah nyesal untuk nyerahkan keperawananku malam ini untuk kamu.”
Kia pun berlalu, malam itu.

-To Be Continued-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar